Laman


Minggu, 23 Desember 2012

Renungan


Untuk direnungkan.

Kisah Rabi'ah Al-Adawiyah, wanita sufi
Ketika Rabi'ah ditanya tentang hakikat imannya, ia menjawab,
"Aku tidak beribadah kepada Allah karena takut kepadaNya.
Sehingga aku serupa saja dengan budak/pelayan yang buruk
yang bekerja dengan rasa takut terhadap majikannya.
Aku beribadah bukan karena mengharapkan surga sehingga aku
serupa dengan budak yang buruk yang diberi sesuatu untuk
pekerjaannya.
Tetapi aku beribadah kepada Allah karena cinta dan rinduku kepada-Nya."

Kisah seorang Arab badui
Seorang arab badui memasuki memasuki masjid lalu shalat.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a memandangnya dengan penuh
perhatian. Seusai orang itu shalat, sambil memegang cambuk, Ali r.a.
mendekatinya dan menyuruhnya mengulangi shalatnya.
Sang badui lalu memperbagus shalatnya dengan kesempurnaan, khusyu'
dan thuma'ninah.
Seusai shalat, Ali bin Abi Thalib r.a. bertanya : "Shalat mana yang lebih
baik, yang pertama atau yang kedua?"
Orang badui itu menjawab dengan polos, "Tentu saja yang pertama, sebab
aku melakukannya untuk Allah, sedangkan shalat yang kedua karena aku
takut kena cambuk Amirul Mukminin.

Selasa, 04 Desember 2012

Analisis Terhadap Kebijakan Perdagangan dan Harga Komoditi Pangan di Indonesia


Isu ketahanan pangan menjadi topik penting di negeri ini karena pangan merupakan kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumberdaya manusia dan stabilitas sosial politik sebagai prasayarat untuk melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah sangat berkepentingan terhadap masalah pangan.
Dari sisi rasional, kita perlu melihat bahwa pertanian sebagai sumber pangan bagi masyarakat. Masyarakat harus mendapatkan pangan yang cukup dari segi jumlah, harga terjangkau, aman dikonsumsi, dan akses yang mudah. Pada kenyataanya, harga pangan yang ada di Indonesia ditentukan oleh supply dan demand. Artinya, mekanisme pasar sangat berperan dalam pembentukan harga.
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat atas pangan. Kaum tani dan gerakan rakyat di pedesaan lainnya telah membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan neoliberal ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurangi kelaparan di dunia. Kebijakan-kebijakan ini justru hanya meningkatkan ketergantungan rakyat pada impor pertanian dan mengintensifkan peng-korporatisasian pertanian. Dengan demikian kebijakan tersebut telah menyebabkan kelestarian genetika alam, warisan lingkungan hidup serta budaya berada dalam bahaya besar sekaligus mengancam kesehatan populasi dunia.
Sistem pangan dan pertanian global berada di bawah monopoli dan kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa yang memaksakan kebijakan ekonomi neoliberal dan perdagangan bebas. Dengan berlakunya sistem tersebut, negeri-negeri terbelakang di mana mayoritas rakyat miskin dan kelaparan berada dipaksa untuk bergantung pada ekspor pertanian. Pertanian sub-sisten berskala kecil dilukiskan sedemikian rupa sebagai usaha yang tidak efesien karenya harus disapu bersih melalui liberalisasi. Lahan besar yang sebelumnya diperuntukkan untuk tanaman pangan telah dikoversikan menjadi tanaman perkebunan atau untuk peruntukkan lainnya. Hal ini telah menghancurkan mata pencarian jutaan orang di pedesaan serta memperburuk wajah kemiskinan dan kelaparan yang telah berlangsung. Mendorong eksport dari perkebunan-perkebunan luas dikiranya sebagai jalan terbaik untuk menghasilkan alat pembayaran luar negeri (valuta asing,pen) yang dibutuhkan untuk mengimpor pangan.
Ketika perdapatan kaum tani mengalami kemerosotan, baik karena tingginya biaya produksi di satu sisi dan melimpah-ruahnya impor secara yang memaksa jatuhnya harga produk lokal, harga konsumen justru bergerak naik. Gambaran ini menunjukkan fakta bahwa kekuatan utama di balik naiknya harga sarana-sarana pertanian dan turunnya harga komoditi pertanian yang juga menyebabkan tingginya harga pangan; adalah adanya kontrol secara monopoli dari perusahaan-perusahaan transnasional seperti Cargill, Monsanto, Nestle, dan sistem pangan dan pertanian lainnya.
Di Indonesia, fenomena eskalasi harga kebutuhan pokok disebabkan oleh aspek suplai karena gangguan sistem produksi dan distribusi di beberapa tempat. Siapa pun paham apabila jalan rusak, harga eceran bahan pangan akan naik di titik konsumsi, bahkan sangat signifikan dibandingkan harga jual petani atau di titik produksi. Apabila peningkatan harga di titik konsumsi cukup proporsional dengan peningkatan harga di titik produksi, maka dimensi keadilan masih dapat diharapkan. Maksudnya, dampak positif bagi kesejahteraan petani biasanya juga memberikan dampak bagi permintaan efektif di pedesaan, misalnya yang memberikan nilai tambah di pedesaan. Perbaikan nilai tambah inilah yang merupakan salah satu mesin penggerak pembangunan pedesaan, dan tentu saja pembangunan ekonomi di Indonesia.Akan tetapi, karena karakter beberapa komoditas pangan di Indonesia memiliki nilai elastisitas transmisi yang rendah, maka peningkatan harga di titik konsumsi hanya sedikit yang dinikmati petani. Persentase kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di tingkat produsen.
Kebijakan harga pertanian merupakan instrument umum dari intervensi pemerintah. Pemerintah mengintervensi pada operasi pasar pertanian di negara-negara yang memiliki perbedaan pembangunan ekonomi yang sangat lebar secara market-oriented dan ekonomi sosialis. Mereka menginginkan pertanian untuk menyuplai surplus pangan, bahan baku industri, tenaga kerja untuk industri, pendapatan dari pajak, dan ekspor untuk perolehan devisa negara. Suatu mekanisme yang digunakan untuk mengekstrak dan mentransfer surplus pertanian adalah kebijakan harga. Disinsentifyang yang dihasilkan oleh harga output bersifat tidak dapat balik (unreversed). Secara teoritis kebijakan harga dapat digunakan dalam mencapai tiga tujuan, yaitu stabilisasi harga hasil-hasil pertanian, meningkatkan kesejahteraan petani dalam konteks tingkat pendapatannya melalui perbaikan dasar tukar (term of trade), dan memberi petunjuk serta arah bagi perencanaan jumlah produksi
Terkait dengan daya beli (purchasing power) kelompok miskin dalam situasi harga pangan yang meroket, ada dua pilihannya, yaitu mengontrol harga dengan menetapkan harga maksimum (ceiling price) atau meningkatkan daya beli. Namun penetapan harga maksimum bukanlah pilihan yang baik karena membutuhkan biaya administrasi dan pengawasan yang tinggi, sementara kemampuan pemerintah terkait hal tersebut sangat terbatas dan amat beresiko. Sehingga pilihan terbaik adalah meningkatkan daya beli dengan memberikan subsidi pangan kepada penduduk miskin, yang notabene sebagian besar adalah petani di pedesaan (rural sector).
Peran pemerintah dalam menentukan harga pangan untuk tujuan mensejahterakan petani sangat diperlukan, terlebih untuk mencegah permainan harga komoditas oleh para pedagang, yang bukan saja mendatangkan kerugian bagi petani sebagai produsen tapi juga masyarakat umum sebagai konsumen. Sehingga dampaknya bukan hanya pada tingkat kesejahteraan petani saja namun bisa meluas pada ancaman ketahanan pangan karena kenaikan atau ketidakstabilan harga pangan yang menyebabkan pada turunnya kemampuan konsumen membeli pangan sehingga berakibat pada terjadinya krisis pangan.
Di bawah dominasi globalisasi, semakin lama semakin banyak rakyat yang jatuh mengapung dalam arus kemiskinan. Program pembangunan alternatif yang berkelanjutan sudah sangat mendesak, sebuah program yang akan dapat mengatasi masalah kelaparan dan kekurangan nutrisi, pembangunan pedesaan, tersedianya mata pencarian tetap dan memperhatikan kelestarianlingkungan.
Strategi alternatif yang prospektif adalah membangun kemandirian dan kedaulatan pangan, dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ditopang oleh industri berbasis pertanian, skim kredit lunak, dan pembangunan infrastruktur di perdesaan. Kehadiran industri pertanian di perdesaan akan menciptakan pasar bagi produk pertanian primer dan lapangan kerja baru di perdesaan.
Sebuah negeri harus memiliki program dan kebijakan pangan yang tepat dan efektif untuk memenuhi hak rakyat dan sebagai cerminan dari kedaulatan pangan. Misalnya dengan mengetrapkan program-program dan kebijakan nasional untuk penyediaan, stok dan distribusi pangan agar dapat mencukupi kebutuhan pangannya dengan bersandar produksi negeri sendiri.
Sebagai kaum intelektual mahasiswa dapat berperan memberi kontribusi secara positif, sesuai peran yang dimiliki sekarang.Selain itu, mahasiswa juga perlu menghargai budaya dan kearifan lokal karena dengan mengkonsumsi pangan lokal yang memberikan nilai dan asupan gizi yang sama. Di sisi yang lain, mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat perlu melakukan perubahan pola konsumsi atau diversifikasi pangan sejak dini.