Laman


Minggu, 24 Juni 2012

KONSERVASI DAN MASALAH LAHAN GAMBUT DI INDONESIA


KONSERVASI DAN MASALAH LAHAN GAMBUT DI INDONESIA

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan antara 15,5 – 18,5 juta hektar yang tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Dari luasgambut 18,5 juta hektar, diantaranya terdapat sekitar 4,61 juta ha (24,9%) diKalimantan Barat, 2,61 juta ha (11,7%) di Kalimantan Tengah, 1,48 juta ha(8%) di Kalimantan Selatan dan 1,05 juta ha (5,7%) di Kalimantan Timur (Soekardi dan Hidayat, 1988)Menurut catatan Idak (1982) pemanfaatan lahan gambut di Kalimantan untuk budidaya pertanian jauh sebelum tahun 1900-an.Pemanfaatan gambut untuk pertanian semakin meluas setelah adanya Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) bersamaan dengan program transmigrasi dari Jawa (1969 – 1982). Beberapa wilayah Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) di wilayah Kalimantan lahan gambut merupakan wilayah sentral produksi pangan khususnya padi dan kedelai. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut (gambut) adalah adanya lapisan gambut tebal dan lapisan pirit (FeS02). Gambut mempunyai sifat khas, yaitu sifat kering tak balik (irreversible drying) dan daya retensi air yang besar (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Sedangkan pirit adalah suatu mineral endapan marin yang terbentuk pada tanah yang jenuh air, kaya bahan organik dan diperkaya oleh sulfat larut yang berasal dari laut. Pirit mempunyai sifat yang unik dan tergantung pada keadaan air (Van Breemen dan Pons, 1978). Pada keadaan jenuh air pirit stabil dan tidak berbahaya, tetapi pada keadaan kering atau drainase berlebihan maka pirit menjadi labil dan mudah teroksidasi. Oksidasi pirit akan menyebabkan pemasaman tanah karena diikuti oleh pelepasan ion ion sulfat dan besi, selanjutnya akan menghancurkan struktur mineral liat tanah sehingga meningkatkan kadar asam, besi, aluminum dalam larut tanah.
Dalam konteks konservasi lahan gambut maka upaya untuk menghindarkan terjadinya degradasi lahan adalah bagaimana mempertahankan lapisan gambut pada batas antara 25 – 50 cm bergantung sistem usahatani yang dikembangkan dan mencegah terjadinya oksidasi pirit berlebihan. Hasil pemetaan pada sebagian besar kawasan gambut di Kalimantan, termasuk kawasan pengembangan lahan gambut (PLG) sejuta hektar berada pada endapan marin yang kaya pirit pada kedalaman yang beragam antara 25 – 100 cm lebih. Oleh karena itu penyusutan atau kehilangan lapisan atas (gambut) dapat menyebabkan terjadinya pemasaman tanah dan pencemaran terhadap lingkungan. Selain itu jugadengan semakin meningkatnya penyusutan kawasan gambut dapat mengakibatkan terganggunya tatanan tata air di kawasan gambut karena sifat gambut yang besar dalam menyimpan air yaitu antara 200 – 800 % bobot (Nugroho et al., 1997). Penyusutan gambut selain akibat intensifikasi dan teknis budidaya (sistem tebas-bakar) juga akibat kebakaran yang sering terjadi di musim kemarau panjang. Produktivitas lahan gambut yang terbakar umumnya lebih rendah dari pada yang belum pernah atau relative sedikit terbakar. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan persepsi petani dan pengelolaannya serta kendala yang dihadapi dalam usahatani di lahan gambut.

CIRI-CIRI LAHAN GAMBUT DAN ARAH PENGGUNAANNYA
Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah, dan bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi (>12% C. karbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem Klasifikasi FAOUnesco (1994) yaitu yang mengandung bahan organik lebih tinggi daripada 30 persen, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih, dibagian 80 cm teratas profil tanah. Gambut merupakan sumberdaya alam yang banyak memiliki kegunaan antara lain untuk budidaya tanaman pertanian maupun kehutanan, dan akuakultur, selain juga dapat digunakan untuk bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi tanah dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan. Menurut Radjagukguk (2003) lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan oleh antara lain :
1. Biodiversitas (keragaman hayati) yang khas dengan kekayaan keragaman flora dan fauna
2. Fungsi hidrologisnya, yakni dapat menyimpan air tawar dalam jumlah yang sangat besar. Satu juta lahan gambut tropika setebal 2 m ditaksir dapat menyimpan 1,2 juta m3 .
3. Sifatnya yang rapuh (fragile) karena dengan pembukaan lahan dan drainase (reklamasi) akan mengalami pengamblesan (sub-sidence), percepatan peruraian dan resiko pengerutan tak balik (irreversible) serta rentan terhadap bahaya erosi
4. Sifatnya yang praktis tidak terbarukan karena membutuhkan waktu 5000- 10.000 tahun untuk pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum sekitar 20 m, sehingga taksiran laju pelenggokannya adalah 1 cm/ 5 tahun, dibawah vegetasi hutan
5. Bentuk lahan dan sifat-sifat tanahnya yang khas, yakni lahannya berbentuk kubah keadaannya yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah serta tanahnya mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah-tanah mineral.
Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut dangkal dengan lapisan < 50 cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan gambut dalam dengan lapisan > 200 cm (Widjaja Adhi, 1992). Menurut Alihamsyah dan Ananto (1998) sifat lahan rawa mempunyai sifat marginal dan rapuh, maka dalam pengembangannya dalam skala luas perlu kehati-hatian. Kesalahan dalam reklamasi dan pengelolaan lahan mengakibatkan rusaknya lahan dan lingkungan. Luas lahan gambut yang terlantar (bongkor) di beberapa lokasi transmigrasi Barambai akibat kebakaran sehingga lahan tidak bisa ditanami semakin luas. Akibat lahan terbakar, permukaan lahan tidak rata. Topografi lahan juga dipengaruhi oleh besarnya subsiden (amblasan) dari gambut akibat kebakaran dan intensifikasi pengelolaan. Dradjat et al (1986) melaporkan laju amblesan 0,36 cm/bulan pada tanah gambut Saprik di Barambai (Kal Sel) selama 12-21 bulan setelah reklamasi, sedang untuk gambut Saprik di Talio (Kal Teng) lajunya 0,178 cm/bulan dan bahan gambut Hemik Saprik 0,9 cm/bulan. Demikian juga pada lokasi yang sama penurunan muka lahan di Desa babat Raya dan Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kalimantan Selatan mencapai antara 75-100 cm dalam masa 18 tahun (April 1978-September 1996) (Noorginayuwati et al.1996). Amblesan di atas akibat pengatusan yang berlebih, kebakaran atau pembakaran, intensifikasi pemanfaatan dan upaya konservasi yang kurang memadai. Oleh karena itu untuk pemanfaatan lahan rawa perlu disesuaikan tipologi dan tipe luapan.
PERSEPSI PETANI TERHADAP LAHAN GAMBUT
Hasil studi menunjukan tanggap yang berbeda antara petani etnis Banjar (penduduk lokal) dengan petani etnis Jawa (transmigran) dalam usaha menjinakkan kendala-kendala lahan dalam budidaya tanaman di lahan gambut. Pada tahun awal kedatangan petani transmigrasi masih kurang mengenal tentang lahan gambut. Hal ini karena mereka umumnya berasal dari lahan kering yang jauh berbeda keadaannya dengan lahan rawa. Selain itu, orientasi usahatani yang mereka terapkan adalah semata mata tanaman pangan sehingga sistem tebas-bakar merupakan usaha yang paling dominan dalam menjinakkan lahan. Kenyataan juga menunjukan bahwa dengan dibakar maka diperoleh pertumbuhan dan hasil tanaman (seperti jagung, padi dan lainnya) yang lebih baik. Sistem tebas-bakar juga dimaksudkan untuk dapat lebih hemat dan cepat dalam penyiapan lahan sehingga dapat menepati waktu tanam dengan intensitas tanam 2-3 kali setahun. Pemanfaatan lahan gambut bagi etnis Banjar dalam catatan Idak (1992) diprioritaskan untuk tanaman perkebunan seperti karet, kelapa dan sebagainya. Tanaman pangan umumnya padi lokal hanya sebagai sisipan. Pada desa-desa sepanjang Anjir Serapat (Desa Gandaria dan sekitarnya) setelah terjadi kebakaran besar-besaran tahun 1927 maka sebagian besar kebun karet rakyat dijadikan persawahan. Namun dalam budidaya petani lokal berbeda dengan yang diterapkan para petani transmigran, mereka hanya mengenal sistem tanam pindah dengan pengolahan tanah minimum (dengan tajak) dan sistem pengembalian jerami tanaman (tebas-puntalampar) secara berkesinambungan. Selain itu intensitas tanam setahun sekali karena padi lokal (photoperiod sensitive) yang berumur panjang antara 8 – 11 bulan. Sistem ini menunjukkan sistem recycling hara yang cukup baik (Rina et al  1996). Selanjutnya hasil penelitian Noorginayuwati et al (2006) melaporkan bahwa persepsi petani mengenai lahan gambut cukup baik karena 82% responden tahu tentang karakteristik lahan gambut tentang klasifikasi lahan gambut, ciri lahan gambut yang cocok untuk pertanian, perbedaan dari segi kesuburan, tanaman yang dapat diusahakan, pemasalahan yang dihadapi dan cara mengatasinya.. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor personal dan factor situasionalnya dan suatu inovasi akan diadopsi oleh petani apabila petani mempunyai persepsi yang baik terhadap inovasi tersebut. Menurut Littlejohn (1987) persepsi yang keliru dapat terjadi karena kurang tepatnya pengetahuan atau pengertian terhadap objek persepsi. Secara teoritis persepsi petani tentang lahan dan degradasi yang mungkin terjadi mempengaruhi perilaku mereka dalam mengusahakan lahan. Pada keadaan musim kemarau panjang seperti pada tahun 1972, 1982, 1985 dan 1992 hampir semua lahan gambut termasuk di UPT Pangkoh Kalimantan Tengah terbakar secara besar-besaran. Apabila tidak terjadi kemarau panjang petani yang sadar melakukan pembakaran terbatas atau terkendali. Di Desa Siantan Hulu Kalimantan Barat, petani membakar lahan gambut terkendala pada tempat tertentu dan hasil pembakaran diperjualbelikan sebagai pupuk tanaman sayuran. Menurut petani local (Banjar), Melayu maupun transmigran mempunyai kesamaan pendapat yang menyatakan bahwa lapisan atas berupa gambut harus dipertahankan antara 15 cm (petani lokal) dan 25-50 cm (petani transmigran) (Noorginayuwati et al, 2006).



PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Pengelolaan lahan gambut yang berwawasan lingkungan sangat perlu dipraktekan mengingat lahan gambut merupakan salah satu lahan untuk masa depan apabila diperhatikan cara pengelolaan yang tepat. Menurut Sabiham (2007) melaporkan bahwa beberapa kunci pokok penggunaan gambut berkelanjutan : (1) Legal aspek yang mendukung pengelolaan lahan gambut, (2) Penataan ruang berdasarkan satuan system hidrologi, (3) Pengelolaan air yang memadai sesuai tipe luapan dan hidro topografi, (4) Pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik tanah mineral di bawah lapisan gambut, (5) Peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut. Selain itu dalam pengelolaan lahan gambut haruslah didukung dengan teknologi budidaya spesifik lokasi dan ketersediaan lembaga pendukung. Salah satu upaya dapat dilaksanakan untuk memanfaatkan lahan gambut dan mengurangi resiko terjadinya kebakaran di lahan gambut/bergambut adalah memperpendek masa bera. Pengaturan pola tanam dan pola usahatani merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan memperpendek masa bera. Pola usahatani yang diterapkan petani dapat berupa monokultur seperti padi – bera, padi + palawija/sayuran, sayuran+palawija, sayuransayuran, sangat tergantung pada tipologi gambut.
Sistem usahatani lahan rawa menurut Suprihatno et al.(1999) dan Alihamsyah et al.(2000) hendaknya didasarkan kepada sistem usahatani terpadu yang bertitik tolak kepada pemanfaatan hubungan sinergik antar subsistemnya agar pengembangannya tetap menjamin kelestarian sumberdaya alamnya. Secara garis besar ada dua sistem usahatani terpadu yang cocok dikembangkan di lahan rawa, yaitu sistem usahatani berbasis tanaman pangan dan sistem usahatani berbasis komoditas andalan (Alihamsyah dan Ananto 1998; Suprihatno et al., 1999; Alihamsyah et al.,2000). Sistem usahatani berbasis tanaman pangan ditujukan untuk menjamin keamanan pangan petani sedangkan sistem usahatani berbasis komoditas andalan dapat dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif pengembangan sistem dan usaha agribisnis.

KENDALA USAHATANI TANAMAN PANGAN DI LAHAN GAMBUT
Konservasi lahan dalam usahatani tanaman pangan selain berhubungan dengan persepsi petani diatas juga memiliki kaitan dengan kondisi dan situasi usahatani. Menurut Fisher (1986) perilaku pada dasarnya sebagai produk dari konteks lingkungannya dalam hal ini adalah kendala yang harus dihadapi dalam usahatani di lahan gambut. Kendala usahatani di lahan gambut meliputi aspek agrofisik lahan dengan daya dukung yang rendah, aspek lingkungan dengan tingkat pencemaran dan pemasaman dari kemungkinan teroksidasinya pirit cukup tinggi termasuk teknologi budidaya yang diterapkan, aspek sosial ekonomi petani yang kurang mendukung. Gambut yang bersifat kering tak balik (irreversible) sehingga menurunkan daya resistensi air dan peka erosi. Selain itu gambut juga memiliki daya dukung (bearing capacity) rendah sehingga menyulitkan tanaman dalam menjangkaukan akarnya secara kokoh dan memiliki daya hantar hidrolik secara horizontal sangat besar tetapi secara vertical kecil sehingga menyulitkan mobilitas air dan hara. Dalam hubungannya dengan konservasi lahan, penerapan teknik budidaya dalam penyiapan lahan dengan sistem tebas-bakar sebagian besar masih dianut oleh petani. Abu sisa pembakaran dari gambut yang praktisdiperoleh dari lapisan atas lahan dianggap merupakan bahan pupuk penyubur tanah, namun lambat laun tanpa pengendalian akan mengakibatkan terkurasnya lapisan atas (organic) yang penting dalam mempertahankan tingkat kesuburan lahan. Sistem ini dapat diperbaiki dengan penggunaan herbisida sebagaimana yang diterapkan oleh petani di Desa Suryakanta, Sakalagun Kalimantan Selatan. Rendahnya intensitas pertanaman, terutama pada lahan petani etnis Banjar yang menggunakan padi lokal mengakibatkan lahan mengalami bera yang relatif lama. Hal ini tidak saja kurang menguntungkan, tetapi juga mempunyai resiko tinggi untuk ikut terbakar atau terbakar langsung pada saat-saat musim kemarau. Cara panen padi lokal yang sebagian besar masih menggunakan ani-ani menyebabkan jerami yang tertinggal di petakan sawah masih panjang(tinggi). Hal ini dapat menjadi pemicu kebakaran saat terjadi kemarau. Untuk ini, mengubah cara panen dengan ani-ani menjadi dengan arit merupakan alternatif untuk mengurangi resiko kebakaran. Peningkatan intensitas tanam dari bera-padi lokal menjadi pola sawit Dupa (padi unggul-padi lokal) sangat baik dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
Dalam hal ini untuk mendukung terlaksananya pola tanam Sawit Dupa diatas peranan pengelolaan dan konservasi air sangat besar.

PENUTUP
Lahan gambut merupakan lahan masa depan apabila dikelola dengan tepat. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang cirri-ciri lahan gambut. Persepsi petani terhadap lahan gambut sangat terbatas sehingga usahausaha konservasi untuk mempertahankan produktivitas lahan gambut juga terbatas.
Pengelolaan lahan gambut dapat dilakukan dengan melaksanakan sistem usahatani berbasis padi dan sistem usahatani berbasis hortikultura,teknologi budidaya dan pengelolaan air. Kendala usahatani di lahan gambut meliputi agrofisik lahan, aspek lingkungan dan teknik budidaya yang dilakukan dapat mempercepat terjadinya degredasi lahan Masih diperlukan kesamaan persepsi antara petani dan pengambil kebijakan dalam melakukan penataan dan pemanfaatan lahan gambut.

DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah, T.,E.E.Ananto, H.Supriadi, I.G.Ismail dan DE.Sianturi. 2000. Dwi Windu.Penelitian Lahan rawa: Mendukung Pertanian Masa Depan.
ProyekPenelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan Litbang Pertanian Bogor.
AR-Riza, I. 2006. Karakteristik Wilayah dan Perancangan Model Penataan Lahan dan Komoditas di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Breemen,V. N. dan L.J. Pons. 1978. Acid Sulphate Soils and Rice. In IRRI. Soil and Rice. Pp. 739-762. Intern. Rice Res. Ins. Los Banos. Philipinnes.
Driessen, P.M. and M. Soepraptohardjo, 1974. Soil for Agricultural Expansion in Indonesia. Soil Research Institute. Bogor.
Idak, H. 1982. Perkembangan dan Sejarah perswahan di Kalimantan Selatan. Pemda Tingkat I. Kalimantan Selatan. Banjarmasin
Littlejohn, S.W. 1987. Theorities of Human Communication. 2nd ed. Wordsworth Publishing Comp. Belmont. California.
Maamun, M.Y, Y. Rina dan N. fauziati. 1998. Aspek Sosial Ekonomi di Unit Pemukiman Transmigrasi Lahan Sejuta Hektar Kalimantan Tengah.
Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Hasannudin No 4. 1998.105 Hal.
Radjaguguk, B. 2003. Perspektif Permasalahan dan Konsepsi Pengelolaan Lahan Gambut Tropika untuk Pertanian berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. UGM.
Rina, Y, M. Noor dan A. Jumberi. 1996. Konservasi Lahan Dalam Usahatani Tanaman Pangan di Lahan Gambut Kalimantan Selatan dan Tengah. Makalah disajikan pada Kongres III dan Seminar Nasional MKTI di Universitas Brawijaya Malang tanggal 4-5 desember 1996.
Sabiham, S. 2007. Pengembangan Lahan Secara berkelanjutan Sebagai Dasar dalam Pengelolaan Gambut di Indonesia. Makalah Utama disimpulkan pada Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa di kapuas, 3-4 juli, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar