KONSERVASI DAN MASALAH LAHAN GAMBUT DI INDONESIA
Luas lahan
gambut di Indonesia diperkirakan antara 15,5 – 18,5 juta hektar yang tersebar
di Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Dari luasgambut 18,5 juta hektar,
diantaranya terdapat sekitar 4,61 juta ha (24,9%) diKalimantan Barat, 2,61 juta
ha (11,7%) di Kalimantan Tengah, 1,48 juta ha(8%) di Kalimantan Selatan dan
1,05 juta ha (5,7%) di Kalimantan Timur (Soekardi dan Hidayat, 1988)Menurut
catatan Idak (1982) pemanfaatan lahan gambut di Kalimantan untuk budidaya
pertanian jauh sebelum tahun 1900-an.Pemanfaatan gambut untuk pertanian semakin
meluas setelah adanya Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) bersamaan
dengan program transmigrasi dari Jawa (1969 – 1982). Beberapa wilayah Unit
Permukiman Transmigrasi (UPT) di wilayah Kalimantan lahan gambut merupakan
wilayah sentral produksi pangan khususnya padi dan kedelai. Kendala utama yang
dihadapi dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut (gambut) adalah
adanya lapisan gambut tebal dan lapisan pirit (FeS02). Gambut mempunyai sifat
khas, yaitu sifat kering tak balik (irreversible drying) dan daya retensi air
yang besar (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Sedangkan pirit adalah suatu
mineral endapan marin yang terbentuk pada tanah yang jenuh air, kaya bahan
organik dan diperkaya oleh sulfat larut yang berasal dari laut. Pirit mempunyai
sifat yang unik dan tergantung pada keadaan air (Van Breemen dan Pons, 1978).
Pada keadaan jenuh air pirit stabil dan tidak berbahaya, tetapi pada keadaan
kering atau drainase berlebihan maka pirit menjadi labil dan mudah teroksidasi.
Oksidasi pirit akan menyebabkan pemasaman tanah karena diikuti oleh pelepasan
ion ion sulfat dan besi, selanjutnya akan menghancurkan struktur mineral liat
tanah sehingga meningkatkan kadar asam, besi, aluminum dalam larut tanah.
Dalam konteks
konservasi lahan gambut maka upaya untuk menghindarkan terjadinya degradasi
lahan adalah bagaimana mempertahankan lapisan gambut pada batas antara 25 – 50
cm bergantung sistem usahatani yang dikembangkan dan mencegah terjadinya
oksidasi pirit berlebihan. Hasil pemetaan pada sebagian besar kawasan gambut di
Kalimantan, termasuk kawasan pengembangan lahan gambut (PLG) sejuta hektar
berada pada endapan marin yang kaya pirit pada kedalaman yang beragam antara 25
– 100 cm lebih. Oleh karena itu penyusutan atau kehilangan lapisan atas
(gambut) dapat menyebabkan terjadinya pemasaman tanah dan pencemaran terhadap
lingkungan. Selain itu jugadengan semakin meningkatnya penyusutan kawasan
gambut dapat mengakibatkan terganggunya tatanan tata air di kawasan gambut karena
sifat gambut yang besar dalam menyimpan air yaitu antara 200 – 800 % bobot
(Nugroho et al., 1997). Penyusutan gambut selain akibat intensifikasi dan
teknis budidaya (sistem tebas-bakar) juga akibat kebakaran yang sering terjadi
di musim kemarau panjang. Produktivitas lahan gambut yang terbakar umumnya
lebih rendah dari pada yang belum pernah atau relative sedikit terbakar.
Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan persepsi petani dan pengelolaannya
serta kendala yang dihadapi dalam usahatani di lahan gambut.
CIRI-CIRI LAHAN GAMBUT DAN ARAH PENGGUNAANNYA
Lahan gambut
merupakan lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang
terdapat diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah, dan bercurah
hujan tinggi atau di daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah gambut mempunyai
kandungan bahan organik yang tinggi (>12% C. karbon) dan kedalaman gambut
minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem
Klasifikasi FAOUnesco (1994) yaitu yang mengandung bahan organik lebih tinggi
daripada 30 persen, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih, dibagian 80 cm
teratas profil tanah. Gambut merupakan sumberdaya alam yang banyak memiliki
kegunaan antara lain untuk budidaya tanaman pertanian maupun kehutanan, dan
akuakultur, selain juga dapat digunakan untuk bahan bakar, media pembibitan,
ameliorasi tanah dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan. Menurut
Radjagukguk (2003) lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan
oleh antara lain :
1. Biodiversitas
(keragaman hayati) yang khas dengan kekayaan keragaman flora dan fauna
2. Fungsi
hidrologisnya, yakni dapat menyimpan air tawar dalam jumlah yang sangat besar.
Satu juta lahan gambut tropika setebal 2 m ditaksir dapat menyimpan 1,2 juta m3
.
3. Sifatnya yang
rapuh (fragile) karena dengan pembukaan lahan dan drainase (reklamasi) akan
mengalami pengamblesan (sub-sidence), percepatan peruraian dan resiko
pengerutan tak balik (irreversible) serta rentan terhadap bahaya erosi
4. Sifatnya yang
praktis tidak terbarukan karena membutuhkan waktu 5000- 10.000 tahun untuk
pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum sekitar 20 m, sehingga
taksiran laju pelenggokannya adalah 1 cm/ 5 tahun, dibawah vegetasi hutan
5. Bentuk lahan
dan sifat-sifat tanahnya yang khas, yakni lahannya berbentuk kubah keadaannya
yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah serta tanahnya mempunyai
sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah-tanah mineral.
Lahan gambut
terdiri 3 jenis yaitu gambut dangkal dengan lapisan < 50 cm, gambut sedang
dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan gambut dalam dengan lapisan > 200 cm
(Widjaja Adhi, 1992). Menurut Alihamsyah dan Ananto (1998) sifat lahan rawa
mempunyai sifat marginal dan rapuh, maka dalam pengembangannya dalam skala luas
perlu kehati-hatian. Kesalahan dalam reklamasi dan pengelolaan lahan
mengakibatkan rusaknya lahan dan lingkungan. Luas lahan gambut yang terlantar
(bongkor) di beberapa lokasi transmigrasi Barambai akibat kebakaran sehingga
lahan tidak bisa ditanami semakin luas. Akibat lahan terbakar, permukaan lahan
tidak rata. Topografi lahan juga dipengaruhi oleh besarnya subsiden (amblasan)
dari gambut akibat kebakaran dan intensifikasi pengelolaan. Dradjat et al
(1986) melaporkan laju amblesan 0,36 cm/bulan pada tanah gambut Saprik di
Barambai (Kal Sel) selama 12-21 bulan setelah reklamasi, sedang untuk gambut
Saprik di Talio (Kal Teng) lajunya 0,178 cm/bulan dan bahan gambut Hemik Saprik
0,9 cm/bulan. Demikian juga pada lokasi yang sama penurunan muka lahan di Desa
babat Raya dan Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kalimantan Selatan mencapai
antara 75-100 cm dalam masa 18 tahun (April 1978-September 1996)
(Noorginayuwati et al.1996). Amblesan di atas akibat pengatusan yang berlebih,
kebakaran atau pembakaran, intensifikasi pemanfaatan dan upaya konservasi yang
kurang memadai. Oleh karena itu untuk pemanfaatan lahan rawa perlu disesuaikan
tipologi dan tipe luapan.
PERSEPSI PETANI TERHADAP LAHAN GAMBUT
Hasil studi
menunjukan tanggap yang berbeda antara petani etnis Banjar (penduduk lokal)
dengan petani etnis Jawa (transmigran) dalam usaha menjinakkan kendala-kendala
lahan dalam budidaya tanaman di lahan gambut. Pada tahun awal kedatangan petani
transmigrasi masih kurang mengenal tentang lahan gambut. Hal ini karena mereka
umumnya berasal dari lahan kering
yang jauh berbeda keadaannya dengan lahan rawa. Selain itu, orientasi usahatani
yang mereka terapkan adalah semata mata tanaman pangan sehingga sistem
tebas-bakar merupakan usaha yang paling dominan dalam menjinakkan lahan.
Kenyataan juga menunjukan bahwa dengan dibakar maka diperoleh pertumbuhan dan
hasil tanaman (seperti jagung, padi dan lainnya) yang lebih baik. Sistem
tebas-bakar juga dimaksudkan untuk dapat lebih hemat dan cepat dalam penyiapan
lahan sehingga dapat menepati waktu tanam dengan intensitas tanam 2-3 kali
setahun. Pemanfaatan lahan gambut bagi etnis Banjar dalam catatan Idak (1992)
diprioritaskan untuk tanaman perkebunan seperti karet, kelapa dan sebagainya.
Tanaman pangan umumnya padi lokal hanya sebagai sisipan. Pada desa-desa
sepanjang Anjir Serapat (Desa Gandaria dan sekitarnya) setelah terjadi
kebakaran besar-besaran tahun 1927 maka sebagian besar kebun karet rakyat
dijadikan persawahan. Namun dalam budidaya petani lokal berbeda dengan yang diterapkan para petani transmigran,
mereka hanya mengenal sistem tanam pindah dengan pengolahan tanah minimum
(dengan tajak) dan sistem pengembalian jerami tanaman (tebas-puntalampar)
secara berkesinambungan. Selain itu intensitas tanam setahun sekali karena padi
lokal (photoperiod sensitive) yang berumur panjang antara 8 – 11 bulan. Sistem
ini menunjukkan sistem recycling hara yang cukup baik (Rina et al 1996). Selanjutnya hasil penelitian
Noorginayuwati et al (2006) melaporkan bahwa persepsi petani mengenai lahan
gambut cukup baik karena 82% responden tahu tentang karakteristik lahan gambut
tentang klasifikasi lahan gambut, ciri lahan gambut yang cocok untuk pertanian,
perbedaan dari segi kesuburan, tanaman yang dapat diusahakan, pemasalahan yang
dihadapi dan cara mengatasinya.. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor
personal dan factor situasionalnya
dan suatu inovasi akan diadopsi oleh petani apabila petani mempunyai persepsi
yang baik terhadap inovasi tersebut. Menurut Littlejohn (1987) persepsi yang
keliru dapat terjadi karena kurang tepatnya pengetahuan atau pengertian
terhadap objek persepsi. Secara teoritis
persepsi petani tentang lahan dan degradasi yang mungkin terjadi
mempengaruhi perilaku mereka dalam mengusahakan lahan. Pada keadaan musim
kemarau panjang seperti pada tahun 1972, 1982, 1985 dan 1992 hampir semua lahan
gambut termasuk di UPT Pangkoh Kalimantan Tengah terbakar secara besar-besaran.
Apabila tidak terjadi kemarau panjang petani yang sadar melakukan pembakaran
terbatas atau terkendali. Di Desa Siantan Hulu Kalimantan Barat, petani
membakar lahan gambut terkendala pada tempat tertentu dan hasil pembakaran
diperjualbelikan sebagai pupuk tanaman sayuran. Menurut petani local (Banjar),
Melayu maupun transmigran mempunyai kesamaan pendapat yang menyatakan bahwa
lapisan atas berupa gambut harus dipertahankan antara 15 cm (petani lokal) dan
25-50 cm (petani transmigran) (Noorginayuwati et al, 2006).
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Pengelolaan
lahan gambut yang berwawasan lingkungan sangat perlu dipraktekan mengingat
lahan gambut merupakan salah satu lahan untuk masa depan apabila diperhatikan
cara pengelolaan yang tepat. Menurut Sabiham (2007) melaporkan bahwa beberapa
kunci pokok penggunaan gambut berkelanjutan : (1) Legal aspek yang mendukung
pengelolaan lahan gambut, (2) Penataan ruang berdasarkan satuan system
hidrologi, (3) Pengelolaan air yang memadai sesuai tipe luapan dan hidro
topografi, (4) Pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik tanah mineral
di bawah lapisan gambut, (5) Peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik
bahan gambut. Selain itu dalam pengelolaan lahan gambut haruslah didukung
dengan teknologi budidaya spesifik lokasi dan ketersediaan lembaga pendukung.
Salah satu upaya dapat dilaksanakan untuk memanfaatkan lahan gambut dan
mengurangi resiko terjadinya kebakaran di lahan gambut/bergambut adalah
memperpendek masa bera. Pengaturan pola tanam dan pola usahatani merupakan
alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan
memperpendek masa bera. Pola usahatani yang diterapkan petani dapat berupa
monokultur seperti padi – bera, padi + palawija/sayuran, sayuran+palawija,
sayuransayuran, sangat tergantung pada tipologi gambut.
Sistem usahatani
lahan rawa menurut Suprihatno et al.(1999) dan Alihamsyah et al.(2000)
hendaknya didasarkan kepada sistem usahatani terpadu yang bertitik tolak kepada
pemanfaatan hubungan sinergik antar subsistemnya agar pengembangannya tetap
menjamin kelestarian sumberdaya alamnya. Secara garis besar ada dua sistem
usahatani terpadu yang cocok dikembangkan di lahan rawa, yaitu sistem usahatani
berbasis tanaman pangan dan sistem usahatani berbasis komoditas andalan
(Alihamsyah dan Ananto 1998; Suprihatno et al., 1999; Alihamsyah et al.,2000).
Sistem usahatani berbasis tanaman pangan ditujukan untuk menjamin keamanan
pangan petani sedangkan sistem usahatani berbasis komoditas andalan dapat
dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif pengembangan sistem dan usaha
agribisnis.
KENDALA USAHATANI TANAMAN PANGAN DI LAHAN GAMBUT
Konservasi lahan
dalam usahatani tanaman pangan selain berhubungan dengan persepsi petani diatas
juga memiliki kaitan dengan kondisi dan situasi usahatani. Menurut Fisher
(1986) perilaku pada dasarnya sebagai produk dari konteks lingkungannya dalam
hal ini adalah kendala yang harus dihadapi dalam usahatani di lahan gambut.
Kendala usahatani di lahan gambut meliputi aspek agrofisik lahan dengan daya
dukung yang rendah, aspek lingkungan dengan tingkat pencemaran dan pemasaman
dari kemungkinan teroksidasinya pirit cukup tinggi termasuk teknologi budidaya
yang diterapkan, aspek sosial ekonomi petani yang kurang mendukung. Gambut yang
bersifat kering tak balik (irreversible) sehingga menurunkan daya resistensi
air dan peka erosi. Selain itu gambut juga memiliki daya dukung (bearing
capacity) rendah sehingga menyulitkan tanaman dalam menjangkaukan akarnya
secara kokoh dan memiliki daya hantar hidrolik secara horizontal sangat besar
tetapi secara vertical kecil sehingga menyulitkan mobilitas air dan hara. Dalam
hubungannya dengan konservasi lahan, penerapan teknik budidaya dalam penyiapan
lahan dengan sistem tebas-bakar sebagian besar masih dianut oleh petani. Abu
sisa pembakaran dari gambut yang praktisdiperoleh dari lapisan atas lahan
dianggap merupakan bahan pupuk penyubur tanah, namun lambat laun tanpa
pengendalian akan mengakibatkan terkurasnya lapisan atas (organic) yang penting
dalam mempertahankan tingkat kesuburan lahan. Sistem ini dapat diperbaiki
dengan penggunaan herbisida sebagaimana yang diterapkan oleh petani di Desa
Suryakanta, Sakalagun Kalimantan Selatan. Rendahnya intensitas pertanaman,
terutama pada lahan petani etnis Banjar yang menggunakan padi lokal
mengakibatkan lahan mengalami bera yang relatif lama. Hal ini tidak saja kurang
menguntungkan, tetapi juga mempunyai resiko tinggi untuk ikut terbakar atau
terbakar langsung pada saat-saat musim kemarau. Cara panen padi lokal yang
sebagian besar masih menggunakan ani-ani menyebabkan jerami yang tertinggal di
petakan sawah masih panjang(tinggi). Hal ini dapat menjadi pemicu kebakaran
saat terjadi kemarau. Untuk ini, mengubah cara panen dengan ani-ani menjadi
dengan arit merupakan alternatif untuk mengurangi resiko kebakaran. Peningkatan
intensitas tanam dari bera-padi lokal menjadi pola sawit Dupa (padi unggul-padi
lokal) sangat baik dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
Dalam hal ini
untuk mendukung terlaksananya pola tanam Sawit Dupa diatas peranan pengelolaan
dan konservasi air sangat besar.
PENUTUP
Lahan gambut
merupakan lahan masa depan apabila dikelola dengan tepat. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan tentang cirri-ciri lahan gambut. Persepsi petani
terhadap lahan gambut sangat terbatas sehingga usahausaha konservasi untuk
mempertahankan produktivitas lahan gambut juga terbatas.
Pengelolaan
lahan gambut dapat dilakukan dengan melaksanakan sistem usahatani berbasis padi
dan sistem usahatani berbasis hortikultura,teknologi budidaya dan pengelolaan
air. Kendala usahatani di lahan gambut meliputi agrofisik lahan, aspek
lingkungan dan teknik budidaya yang dilakukan dapat mempercepat terjadinya
degredasi lahan Masih diperlukan kesamaan persepsi antara petani dan pengambil
kebijakan dalam melakukan penataan dan pemanfaatan lahan gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah,
T.,E.E.Ananto, H.Supriadi, I.G.Ismail dan DE.Sianturi. 2000. Dwi
Windu.Penelitian Lahan rawa: Mendukung Pertanian Masa Depan.
ProyekPenelitian
Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan Litbang Pertanian Bogor.
AR-Riza, I. 2006.
Karakteristik Wilayah dan Perancangan Model Penataan Lahan dan Komoditas di
Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Breemen,V. N.
dan L.J. Pons. 1978. Acid Sulphate Soils and Rice. In IRRI. Soil and Rice. Pp.
739-762. Intern. Rice Res. Ins. Los Banos. Philipinnes.
Driessen, P.M.
and M. Soepraptohardjo, 1974. Soil for Agricultural Expansion in Indonesia.
Soil Research Institute. Bogor.
Idak, H. 1982.
Perkembangan dan Sejarah perswahan di Kalimantan Selatan. Pemda Tingkat I.
Kalimantan Selatan. Banjarmasin
Littlejohn, S.W.
1987. Theorities of Human Communication. 2nd ed. Wordsworth Publishing Comp.
Belmont. California.
Maamun, M.Y, Y.
Rina dan N. fauziati. 1998. Aspek Sosial Ekonomi di Unit Pemukiman Transmigrasi
Lahan Sejuta Hektar Kalimantan Tengah.
Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian Universitas Hasannudin No 4. 1998.105 Hal.
Radjaguguk, B.
2003. Perspektif Permasalahan dan Konsepsi Pengelolaan Lahan Gambut Tropika
untuk Pertanian berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar. UGM.
Rina, Y, M. Noor
dan A. Jumberi. 1996. Konservasi Lahan Dalam Usahatani Tanaman Pangan di Lahan
Gambut Kalimantan Selatan dan Tengah. Makalah disajikan pada Kongres III dan
Seminar Nasional MKTI di Universitas Brawijaya Malang tanggal 4-5 desember
1996.
Sabiham, S.
2007. Pengembangan Lahan Secara berkelanjutan Sebagai Dasar dalam Pengelolaan
Gambut di Indonesia. Makalah Utama disimpulkan pada Seminar Nasional Pertanian
Lahan Rawa di kapuas, 3-4 juli, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar