Presiden pertama Republik Indonesia,
Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni
1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai
tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak
Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai
Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang
bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama
orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya,
indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri
Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School).
Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya.
Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische
Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil
meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan
mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan
Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin,
Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam
pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan
Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun
dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo
dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan
dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke
Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang
disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia
yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi
dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya
mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada
1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat
yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR
mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang
pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di
Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya,
Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan
Proklamasi". (Dari Berbagai Sumber)
Add caption
Presiden Soeharto
Soeharto adalah Presiden kedua
Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921.
Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah
dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah.
Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD
Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono
pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun,
Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di
rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri
tani.
Sampai akhirnya terpilih menjadi
prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941.
Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto
menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.
Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember
1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka
dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto,
Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti
Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir
militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat
sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat
Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin
pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat
itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu
juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan
Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk
sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal
Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya,
mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang
Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden,
dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih
dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21
Mei 1998. (Dari Berbagai Sumber)
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie
Presiden ketiga Republik Indonesia,
Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni
1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi
Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah
dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang
putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.
Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi
Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak
kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan
bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan
jantung. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk
menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak
menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie
menjadi sosok favorit di sekolahnya.
Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia di
Bandung (Sekarang ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische
Hochschule, Jerman tahun 1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari
tempat yang sama tahun 1965. Habibie menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua
orang anak. Tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut
Teknologi Bandung.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum
namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih
penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya
Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB
Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang
di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat
terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto
untuk kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT,
memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil
Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI
menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie
berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser
akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya
ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula
hijrah bermukim ke Jerman. (Dari Berbagai Sumber)
Presiden Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil
Gus Dur menjabat Presiden RI ke-4 mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001.
Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus
Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri
organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan
Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang,
K.H. Bisri Syamsuri. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia
empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh,
Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari .
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran
membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau
juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun
Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku.
Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur,
pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran
lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah
sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri
Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di
Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan
mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren
Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat
ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah
anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di
Mesir.
Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur
kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung
di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian
beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus
Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis
dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai
mendapat perhatian banyak.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim
untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari
sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada
sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar
negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES
bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan
pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau
merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya
sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan
perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan
berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius
menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik,
maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam
kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang
cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn
1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun
1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh
sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk
menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan
tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta
(1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU
kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi
presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya
berbeda dari pendapat banyak orang. (Dari Berbagai Sumber)
Presiden Megawati Soekarnoputri
Presiden Republik Indonesia ke-5,
Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat
sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah
pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI
pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya
menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua
anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan
Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas.
Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu
tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama
Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya
bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan
masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati
sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis,
Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu
negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati
Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan
Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu
Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga
politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak
terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah
mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang
baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif
dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau
telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik.
Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona
dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang
berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota
DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta
Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya
tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan.
Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol
mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan
lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang
silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan
terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih
menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat
itu.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI
di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung
Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan
menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega
muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh
pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega
sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah.
Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan
mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan
pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk
menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega
dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan
dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro,
sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para
pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha
mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman
akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi
kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut
kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah
Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik
yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari
masyarakat luas.
Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI
pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan
mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang
sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim
Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik
berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999
dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan
Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya.
Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada
waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini.
Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara
aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH
Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah
habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam
pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali
menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya
menjadi Presiden RI ke-6. (Dari Berbagai Sumber)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono adalah
presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden sebelumnya, beliau merupakan presiden
pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses Pemilu Presiden
putaran II 20 September 2004. Lulusan terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa
SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama
Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi
Wibowo.
Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak
tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun
dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah,
putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas. Beliau dikaruniai dua orang putra
yakni Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY,
lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa)
dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang
yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).
Pendidikan SR adalah pijakan masa depan paling
menentukan dalam diri SBY. Ketika duduk di bangku kelas lima, beliau untuk
pertamakali kenal dan akrab dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN),
Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian hari AMN berubah nama menjadi Akabri. SBY
masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di selatan alun-alun. Ini adalah sekolah
idola bagi anak-anak Kota Pacitan. Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin
keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara
dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah
lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak
langsung masuk Akabri. Maka SBY pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin
Institut 10 November Surabaya (ITS).
Namun kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru
Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di
PGSLP Malang itu, beliau mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970,
akhirnya masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan
akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard
Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan
Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, belaiu meraih predikat lulusan terbaik
Akabri 1973 dengan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.
Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger
Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di
Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle
Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman
(1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung
(1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas,
AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS. Perjalanan
karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif
Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri
Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung
sekitar 30 prajurit.
Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga
batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki
nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon
Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara
328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak. Kefasihan
berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara
(airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan
Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, 1975. Kemudian sekembali ke tanah
air, SBY memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud
305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977. Beliau pun
memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.
Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi Komandan Peleton
Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, beliau ditempatkan
sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan
Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982).
Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke
Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, beliau mengikuti Infantry Officer
Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job
training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti
Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan
Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan SBY
menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
Lalu beliau dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan
Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di
Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan
terbaik Seskoad 1989. SBY pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan
ditempatkan di Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain
membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat
menjabat Panglima ABRI, beliau ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator
Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).
Lalu, beliau kembali bertugas di satuan tempur, diangkat
menjadi Komandan Brigade Infantri Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang
I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian
menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam
IV/Diponegoro (1995). Tak lama kemudian, SBY dipercaya bertugas ke Bosnia
Herzegovina untuk menjadi perwira PBB (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala
Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force)
yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan
kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia Herzegovina. Setelah
kembali dari Bosnia, beliau diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996).
Kemudian menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus Ketua
Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum
menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).
Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27
Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika
dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan
Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan
posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam.
Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya
menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau
memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri
ini membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya
ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden
langsung putaran kedua 20 September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf
Kalla meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di
attas 60 persen. Dan pada tanggal 20 Oktober 2004 beliau dilantik menjadi
Presiden RI ke-6. (Dari Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar