Undang-undang
(UU) no 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan Pemerintah (PP) no 20/2006
tentang Irigasi telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada bulan
Mei 2006. PP no 20/2006 ini merupakan suatu kebijakan baru sekaligus perubahan aturan
pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan (O&P) irigasi. Persoalannya
adalah, bila kebijakan dan pelaksanaan O&P berubah maka butuh waktu untuk
mencapai kesetimbangan sistem agar tidak muncul dampak negatif dalam
pelaksanaannya.
Untuk
dapat menyusun suatu konsep kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya air dan
implementasinya diperlukan suatu pemahaman bahwa sistem irigasi merupakan
sumberdaya yang bersifat common pool resources, polisentris dan kental
dengan aspek sosiokultural masyarakat .
Sistem irigasi sebagai sistem common
pool resources
Dilihat
dari karakteristik sumberdayanya maka sumber air dan segala aspek
pemanfaatannya bersifat sumberdaya milik bersama (common pool resource)
dan polisentris (Ostrom, 1990).
Sifat
tersebut sulit membatasi orang untuk memanfaatkannya, biaya pembatasnya (exclusion
cost) menjadi tinggi, pengambilan suatu unit sumberdaya akan mengurangi
kesediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya (substractibility atau rivalry).
Akibatnya
setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas (free rider),
memanfaatkan sumberdaya tanpa bersedia berkontribusi terhadap penyediaannya
atau pelestariannya dan rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih atau
kerusakan sumberdaya. Hal ini dikenal sebagai tragedy of the commons (Harding,
1968). Tragedi ini bisa terjadi jika tidak ada pembatasan, aturan, pemanfaatan
sumberdaya sehingga bersifat akses terbuka (open access). Alokasi
sumberdaya milik bersama dilakukan dengan mengatur (Hardin, 1968):
- Akses terhadap sumberdaya; dan
- aturan pemanfaatannya melalui privatisasi (private property
rights) atau kepemilikan negara (state property rights).
Kebijakan
ini tidak selalu berhasil dilakukan pada sumberdaya milik negara, karena
pengelola tidak dapat mengatasi:
- biaya transaksi yang tinggi dalam penegakan aturan atau
penjagaan sumberdaya, seperti biaya pengawasan, personil, dsb, sehingga
penumpang bebas (free rider) tidak dapat dikontrol;
- tindakan oportunis (opportunistic behavior) berupa
perburuan rente (rent-seeking) oleh aparat pengawas lapangan. Oleh
sebab itu sistem irigasi yang bersifat common pool resources dan
sekaligus polisentrisitas akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan
berdialog untuk berkomitmen dan membangun konsensus (Ostrom, 1990).
Sistem Irigasi Sebagai Sistem
Sosio-Kultural Masyarakat
Sistem
irigasi sebagai suatu sistem sosio-kultural masyarakat saling bergantung secara
erat dalam suatu keadaan ketersediaan air yang dinamis baik secara spasial
maupun temporal (Pusposutardjo dan Arif,1999; Arif, 2006).
Sebagai
sistem sosio-kultural masyarakat, Arif (2006) menyatakan bahwa keberhasilan
manajemen sistem irigasi tergantung pada:
- azas legal dan tujuan manajemen yang jelas
- modal (aset) dasar yang kuat; dan
- sistem manajemen yang handal untuk dapat mewujudkan tujuan
manajemen yang telah disusun lengkap dengan kriteria keberhasilannya.
(1) azas legal dan tujuan manajemen irigasi.
Keberadaan
dan keberhasilan manajemen sistem irigasi saat ini masih didominasi dan
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah sebagai regulator dan pengelolaan di aras
DI. Sebagai contoh, semua kebijakan harus mengacu kepada UU no 7/2004 dan PP no
20/2006 dengan pokok-pokok isi:
ü azas good governance sebagai bingkai azas pembangunan
keberlanjutan, kerakyatan dan manajemen provisi (Pasal 2 s/d Pasal 6); dan
ü azas partisipatif (pasal 84).
Pasal-pasal
tersebut sesuai dengan takrif tentang good governance dan manajemen
provisi (UN-ESCAP, 2005, Huppert et al, 2001). Pasal 34 ayat (1) UU no 7/2004
mengatur tentang pengembangan sumberdaya air untuk penyediaan air baku bagi
berbagai keperluan termasuk pertanian, kemudian diikuti Pasal 41 ayat (1)
sampai (6) serta Pasal 64 ayat 6 tentang O&P irigasi. Seluruh pasal-pasal
tersebut secara umum berlaku pula untuk kebijakan pengelolaan irigasi.
Pengembalian
kewenangan pemerintah pusat/daerah sebagai pengelola irigasi jaringan utama
sama dengan PP 23/1982 (mengacu UU no 11/1974). Beberapa perubahannya adalah:
ü tujuan irigasi bukan untuk swa sembada pangan (beras), tetapi juga
untuk pencapaian ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani.
Perubahan dimulai sejak PKPI (1999) dan didukung oleh UU no 12/1992 tentang
budidaya tanam;
ü dasar manajemen irigasi berubah dari produksi menjadi provisi
(manajemen pelayanan), pemanfaatannya melalui penetapan dan kesepakatan
bersama.
Manajemen
provisi mengacu pada:
v azas demokratisasi dan desentralisasi otonomi pemerintahan (UU no
32/2004 dan UU no 7/2004 Ps 2 s/d Ps 6) atas dasar partisipasi dan dialog;
v perubahan fungsi air dari sosial menjadi ekonomi dan lingkungan (Ps.
3 s/d 6 UU no 7/2004);
v adanya kemajuan teknologi informasi, sehingga masyarakat menjadi
terbuka dan kaya informasi.
(2) modal (aset) dasar irigasi
PP no
20/2006 menetapkan bahwa aset sistem irigasi terdiri atas:
v prasarana jaringan irigasi, dan
v aset pendukung pengelolaan irigasi, terdiri atas kelembagaan
pengelolaan irigasi, sumberdaya pendukung serta fasilitas pendukung.
Agar
tercapai keberhasilan manajemen sistem irigasi maka perlu ditambah aset
ketersediaan sumberdaya air yang handal, dukungan finansial dan teknologi
sepadan .
i) ketersediaan air irigasi
Ketersediaan
air irigasi yang kontinyu sepanjang tahun merupakan suatu modal dasar yang
sangat esensial. Informasi tentang keberadaan dan ketersediaan air irigasi
berbasis waktu merupakan sesuatu yang mutlak untuk dipunyai pengelola sebagai
sarana pengambilan keputusan yang jitu untuk melayani para pengguna dan
pemanfaatnya. Informasi yang handal diperoleh dari:
- prasarana, berupa alat ukur yang selalu terkalibrasi;
- tatacara pengumpulan informasi yang benar,
- profesionalisme dan kompetensi tenaga kerja analis data,
- sistem penyimpanan beserta analisis data yang tersistem,
handal, akurat, mudah dan murah .
Ketersediaan
air irigasi juga dipengaruhi oleh hak guna atas air di aras Daerah Aliran
Sungai (DAS), sedangkan secara spasial di dalam suatu daerah irigasi sebaran
ketersediaan air juga sangat dipengaruhi pula oleh hak guna air irigasi di
antara pemakainya.
(ii) teknologi untuk
pelaksanaan manajemen irigasi
Teknologi
untuk manajemen irigasi berupa penggunaan alat, mesin serta pengetahuan untuk
mendapatkan cara irigasi secara efisien. Bentuk teknologi dalam pengelolaan
irigasi adalah:
- sistem prasarana irigasi;
- prosedur dan sistem informasi O&P irigasi.
Teknologi
pengelolaan irigasi beragam dari satu ke DI lain karena aspek sosio-teknis yang
terkandung dalam sistem irigasi. Oleh sebab itu perlu dikembangkan suatu
teknologi sepadan yang paling sesuai untuk masing-masing DI melalui tindakan
perencanaan, perancangan dan pembangunan yang berurutan, kesamaan asumsi
diantara stakeholders agar dapat melakukan tindakan manajemen irigasi
secara sepadan.
(iii) Sumberdaya manusia dan
Institusi irigasi
Kompetensi
SDM dalam hal tepat jumlah dan sasaran merupakan syarat tercapainya pengelolaan
irigasi secara handal dan sepadan. Institusi irigasi, bentuk rule in-use dan
organisasi pelaksana yang terstruktur, merupakan kelengkapan pengelolaan
irigasi yang sepadan. Dalam UU no 7/2004 dan PP no 20/2006, institusi pengelola
irigasi adalah pemerintah dan petani serta perlu dibentuk komisi irigasi
kabupaten dan provinsi. Untuk DI multiguna dapat membentuk forum komunikasi
antar pengguna di aras DI
(iv) dukungan finansial
Dukungan
finansial merupakan komponen penting dalam sistem manajemen. UU no 7/2004 dan
PP no 20/2006 menyebutkan bahwa kewenangan pengelolaan irigasi juga melekat
sistem pembiayaannya. Masing-masing pihak pengelola sistem irigasi dibebani
tanggung jawab pembiayaan, lembaga (bentuk, struktur) dan prosedur
pengelolaannya.
Kenyataannya
di lapangan pelaksanaan konsep di dua DI Siman dan Bondoyudo ( Jatim ) untuk
sementara dapat diperoleh suatu pembelajaran :
- adanya keragaman permasalahan dan pelaksanaan O&P irigasi
yang dipengaruhi oleh pasar, klimat, keragaman budaya dan dinamika
masyarakat;
- adanya pemahaman bersama terhadap permasalahan yang timbul
beserta cara penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui dialog; dan
- dibutuhkan suatu upaya yang terus menerus agar kesepahaman yang
membuahkan komitmen dan konsensus untuk melaksanakan O&P secara
sepadan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar